Ancaman NAPZA Bagi Generasi Muda dan Paradoks Penegakan Hukum

Oleh : Khosi'in, mahasiswa HTN 2024 STIT Al-ibrohimy

Di tengah kondisi yang penuh dengan informasi instan dan tantangan sosial yang kompleks ini perlu kita garis bawahi dibalik kecanggihan teknologi dan berinteraksi dengan dunia digital, generasi kita juga menghadapi tantangan besar terkait penyalahgunaan narkoba. Generasi ini memiliki akses mudah untuk mendapatkan barang haram itu, ditambah dengan social culture yang semakin membiasakan hal negatif seperti alkohol hingga banyak individu dan kelompok yang terperangkap dalam siklus kecanduan.

Era digital yang seharusnya mempermudah penyebaran informasi positif malah menjadi saluran bagi penyebaran informasi yang mengarah pada penggunaan narkoba, dan ini menciptakan tantangan baru bagi pencegahan dan penanganannya.

Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) merupakan masalah kesehatan global yang terus berkembang, dengan dampak yang merusak bagi per-orangan maupun masyarakat.

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), data global saat ini menunjukkan bahwa penyalahguna narkotika telah mencapai angka 296 juta jiwa, naik sebesar 12 juta jiwa jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka ini mewakili 5,8% penduduk dunia yang berusia 15-64 tahun. Sedangkan hasil survei nasional prevalensi penyalahgunaan narkotika tahun 2023 menunjukkan bahwa angka prevalensi sebesar 1,73% atau setara dengan 3,3 juta penduduk Indonesia yang berusia 15-64 tahun. Data ini juga menunjukkan adanya peningkatan penyalahgunaan narkotika secara signifikan pada kalangan kelompok umur 15-24 tahun.

Namun, di banyak negara, penyalahgunaan NAPZA sering kali diperlakukan sebagai masalah kriminal, bukan sebagai masalah kesehatan/mental. Ironisnya, banyak individu yang seharusnya mendapatkan perawatan dan rehabilitasi malah berakhir di penjara. Hal ini menciptakan sebuah paradoks yang memperburuk kondisi mereka, dan menambah beban sistem peradilan serta penegakan hukum. Penyalahgunaan NAPZA sering kali berakar pada berbagai faktor sosial, psikologis, dan ekonomi.

Banyak orang yang terjebak dalam lingkaran kecanduan karena masalah mental seperti depresi, kecemasan, atau trauma masa lalu, yang kemudian mencari pelarian melalui obat-obatan terlarang. Lainnya mungkin terpapar oleh lingkungan yang kurang mendukung, seperti keluarga yang tidak stabil atau lingkungan sosial yang mendorong penggunaan zat adiktif.

Dalam banyak kasus, korban penyalahgunaan NAPZA bukanlah individu yang secara sengaja memilih untuk menyakiti diri mereka, melainkan mereka yang terjebak dalam kondisi yang membuat mereka rentan terhadap kecanduan.

Di berbagai negara, terutama di negara kita, dengan kebijakan hukuman keras terhadap narkoba, individu yang terjebak dalam penyalahgunaan NAPZA sering kali diperlakukan seperti pelaku kejahatan, sedangkan individu yang menggunakan narkoba karena tekanan hidup atau kondisi sosial yang sulit, seharusnya diperlakukan dengan empati dan dukungan medis atau rehabilitasi, bukan dihukum secara kriminal. 

Ilustrasi : designer.microsoft.com

Tuntutan ini cenderung fokus pada pemberian hukuman, yang lebih menekankan pada aspek hukuman daripada upaya untuk membantu individu keluar dari kecanduan. Ironisnya, penahanan di penjara justru sering kali memperburuk kondisi mental dan fisik para korban, yang malah memperpanjang siklus kecanduan mereka.

Di dalam penjara, mereka terpapar pada kondisi yang bisa memperburuk masalah psikologis mereka, seperti stres, kekerasan, dan tekanan sosial. Bukan hanya itu, mereka juga mungkin tidak mendapatkan akses yang memadai terhadap rehabilitasi atau perawatan medis yang dibutuhkan untuk keluar dari kecanduan. Masalah ini semakin diperburuk dengan stigma sosial terhadap pecandu narkoba yang sering kali membuat mereka diabaikan oleh masyarakat. 

Banyak yang menganggap mereka sebagai "pelaku kriminal" yang pantas dihukum, bukan sebagai korban yang membutuhkan dukungan dan bantuan.

Di Indonesia, masalah penyalahgunaan narkoba diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Namun, lebih spesifik untuk korban penyalahgunaan narkoba, penanganannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terutama terkait dengan pendekatan rehabilitasi bagi pengguna narkoba yang menjadi korban penyalahgunaan. Pada Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial bagi pengguna narkotika yang menjadi korban penyalahgunaan. Pasal 54 menyebutkan bahwa: "Pengguna Narkotika yang menjadi korban penyalahgunaan Narkotika dapat dikenakan rehabilitasi medis dan sosial, bukan pidana.". Diperjelas lagi dengan pasal 128 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa: "Korban penyalahgunaan narkoba, apabila terbukti sebagai pengguna yang tidak memiliki niat jahat, dapat dikenakan rehabilitasi medis dan sosial, bukan dikenakan sanksi pidana.".

Rehabilitasi dapat dilakukan melalui layanan medis dan sosial, dan mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba bukan hanya dianggap sebagai pelaku kejahatan, melainkan juga sebagai korban yang membutuhkan pemulihan. Namun, dikehidupan sosial kita ini malah di judge dan Stigma ini membuat mereka sulit untuk mendapatkan kesempatan rehabilitasi yang lebih baik, baik itu di luar penjara maupun dalam sistem penahanan. Selain itu, banyak sistem penegakan hukum yang tidak memiliki mekanisme untuk membedakan antara pelaku kejahatan narkoba yang merugikan orang lain dengan mereka yang murni korban penyalahgunaan NAPZA.

Tanpa adanya kebijakan yang jelas untuk rehabilitasi, korban penyalahgunaan narkoba sering kali tidak mendapatkan kesempatan untuk memulihkan diri. Ketika mereka dipenjara, mereka tidak hanya terpisah dari akses ke perawatan yang tepat. Mereka juga mengalami kesulitan dalam memperoleh dukungan sosial yang penting untuk proses pemulihan mereka, disisi lain tidak banyak juga informasi-informasi di sosial media yang beredar bahwa penjara adalah tempat aman untuk peredaran Narkoba. Ini dibuktikan dengan beberapa kasus yang terjadi seperti, kasus LP Cipinang (2015)  Polisi menemukan Narkotika jenis CC4 sebanyak 120 lembar atau 2000 keping di dalam lapas. Ternyata, narkoba tersebut dibawa oleh seorang narapidana yang bekerja sama dengan petugas lapas.

Kedua, Kasus Penjara Tangerang (2019) dimana seorang petugas penjara ditangkap karena terlibat dalam peredaran narkoba di dalam penjara. dan pula kasus di penjara Madiun (2020) saat Polisi menemukan 100 gram narkoba di dalam sel penjara. Dan banyak lagi kasus serupa yang terjadi di negara kita. 

Dari kasus diatas, kita bisa menilai bahwa penjara bukan tempat aman untuk korban penyalahgunaan NAPZA, bahkan terkadang justru menjadi sarang yang aman bagi pengedar narkoba yang berkoalisi dengan oknum-oknum penegak hukum yang tidak bertanggung-jawab.

Posting Komentar

0 Komentar