Oleh : Abdur Rohim, Duta Kampus STIT Al-Ibrohimy |
Minat berorganisasi yang menurun di kalangan mahasiswa mencerminkan kurangnya kesadaran akan pentingnya pengembangan diri, kepedulian sosial dan kemampuan kepemimpinan. Perlu ada perubahan strategi pengembangan organisasi dan dukungan dari pihak kampus untuk mengembalikan semangat berorganisasi.
Proses seleksi calon pengurus seharusnya mencerminkan prinsip keadilan, transparansi, dan profesionalisme. Namun, ketika proses ini dilakukan tanpa alasan yang jelas dalam menolak kandidat, disertai ketidakjelasan mekanisme wawancara, serta adanya praktik penerimaan kandidat yang tidak aktif, terlihat indikasi lemahnya manajemen organisasi.
Ketika penolakan calon pengurus tidak didasarkan pada kriteria yang jelas atau disampaikan secara transparan, maka hal ini menunjukkan kegagalan organisasi dalam memberikan penghormatan kepada hak setiap individu untuk mengetahui hasil seleksi. Tanpa alasan yang jelas, muncul potensi persepsi ketidakadilan yang dapat merusak kepercayaan terhadap manajemen organisasi.
Wawancara merupakan bagian penting dari seleksi untuk mengevaluasi kompetensi dan motivasi calon. Jika proses ini dilakukan tanpa kejelasan, baik dari segi indikator penilaian maupun arah pertanyaan, hal ini mencerminkan ketidaksiapan pihak penyelenggara. Ketidakjelasan seperti ini dapat menyebabkan hasil seleksi tidak objektif dan terkesan asal-asalan.
Menerima kandidat yang tidak aktif hanya karena faktor non-kapasitas, seperti hubungan dekat atau afiliasi tertentu, menunjukkan adanya praktik oligarki dalam organisasi. Pola seperti ini tidak hanya merusak kultur organisasi, tetapi juga membatasi potensi regenerasi dan inovasi yang diperlukan untuk kemajuan. Keputusan seperti ini dapat memunculkan kesenjangan antara pengurus aktif dan tidak aktif, yang pada akhirnya melemahkan produktivitas organisasi.
Penerimaan calon pengurus yang tidak aktif tanpa alasan yang objektif menjadi cerminan lemahnya sistem seleksi. Apalagi jika proses wawancara dilakukan tanpa indikator yang jelas, hasil seleksi menjadi bias dan cenderung tidak profesional. Praktik seperti ini bukan hanya mengabaikan potensi individu yang layak, tetapi juga membuka jalan bagi budaya oligarki, di mana kepentingan kelompok kecil lebih diutamakan daripada visi besar organisasi.
Oligarki dalam kepengurusan organisasi menjadi ancaman serius bagi prinsip keadilan dan transparansi. Ketika keputusan hanya diambil oleh segelintir orang berdasarkan relasi atau kedekatan, bukan kompetensi dan dedikasi, integritas organisasi pun dipertaruhkan.
Dalam jangka panjang, praktik oligarki dapat melumpuhkan produktivitas dan inovasi. Hal ini akan menciptakan jurang antara mereka yang bekerja keras demi organisasi dengan mereka yang hanya "menumpang nama." Oleh karena itu, reformasi dalam sistem seleksi dan kepengurusan menjadi hal yang mendesak untuk mengembalikan kepercayaan anggota serta menjaga integritas organisasi.
Tanpa perubahan, organisasi hanya akan menjadi ruang bagi segelintir orang yang menikmati kekuasaan, sementara tujuan utamanya semakin jauh dari kenyataan.
Praktik seperti ini bukan hanya mengabaikan potensi individu yang layak, tetapi juga membuka jalan bagi budaya oligarki, dimana kepentingan kelompok kecil lebih diutamakan daripada visi besar organisasi.
0 Komentar