Oleh : Qurratun Nisa, Mahasiswi PAI STIT Al-Ibrohimy |
Perempuan memiliki peran
penting dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Nilai perempuan
tidak hanya dilihat dari fungsi biologis atau peran domestiknya, tetapi juga
dari kontribusi intelektual, emosional, dan sosial yang mereka berikan. Namun,
realitas menunjukkan perempuan sering kali menjadi target diskriminasi dan
kekerasan, termasuk pelecehan seksual.
Hak perempuan merupakan
bagian dari hak asasi manusia, telah dijamin dalam Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (1948) yang mengakui kebebasan, keamanan, dan martabat setiap
individu tanpa diskriminasi gender. Hak ini mencakup akses terhadap pendidikan,
pekerjaan, perlindungan hukum, kesehatan, dan kebebasan dari kekerasan.
Pelecehan seksual secara langsung melanggar hak perempuan untuk hidup dengan
aman, bermartabat, dan bebas dari rasa takut.
Di Indonesia, isu ini
semakin mendapat perhatian serius terutama setelah pengesahan UU Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang memperkuat perlindungan hukum bagi korban.
Kasus Agus Buntung, yang
mencuat di akhir 2024, menjadi salah satu peristiwa yang menarik perhatian
publik karena melibatkan pelaku disabilitas. Agus Buntung, seorang penyandang
disabilitas tuna darsa, diduga melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah
korban, termasuk remaja perempuan dan anak di bawah umur.
Kasus ini menyoroti
pelanggaran serius terhadap hak perempuan untuk merasa aman. Jika dilihat dari
dampak kasus yang dialami oleh korban, tentunya korban mengalami trauma
psikologis dan emosional yang mendalam, hilangnya rasa percaya diri, rasa aman,
serta gangguan mental dan kecemasan.
Najwa shihab menyatakan
bahwa “Pelecehan seksual adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang harus
diatasi melalui edukasi dan penegakan hukum, dengan mendorong korban untuk
berani berbicara dan melaporkan kasus.”
Aktivis seperti suciawati
menekankan bahwa pelecehan seksual adalah masalah sistemik yang memerlukan
pendidikan berbasis kesetaraan gender sejak dini, sementara komnas perempuan
menegaskan bahwa pelecehan seksual merupakan ancaman serius yang membutuhkan
reformasi hukum untuk menghukum pelaku dan mendukung korban secara maksimal.
Terkait dengan tragedi
pelecehan yang dilakukan oleh Agus buntung, pelaku dapat dijerat dengan
pasal-pasal yang berlapis. Pertama, pasal 291 yang mengatur hukuman penjara
hingga 12 tahun bagi pelaku yang melakukan pelecehan seksual. Kedua, pasal 293 yang mengatur hukuman
penjara hingga 5 tahun bagi pelaku yang melakukan pelecehan atau pencabulan terhadap anak di bawah umur.
Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan bahwa jumlah kasus
kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 289.111
kasus.
Jumlah ini menunjukkan
penurunan sebesar 12% atau 55.920 kasus dibandingkan dengan tahun 2022.
Berdasarkan data tersebut, korban kekerasan lebih banyak dialami oleh perempuan
muda dan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan
pelaku.
Berdasarkan Catatan
Tahunan (CATAHU) 2023 Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan di ranah
personal masih mendominasi pengaduan. Namun, kekerasan terhadap perempuan di
ranah publik dan negara mengalami peningkatan, yaitu masing-masing sebesar 44%
dan 176%.
Sedangkan,data komnas perempuan pada tahun 2024 belum dapat memaparkan secara keseluruhan jumlah kasus kekerasan yang terjadi, namun untuk kasus yang di adukan pada tahun 2024 ini sudah tercatat sekitar 2.700 kasus.
Ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan langsung ke komnas perempuan di tahun ini terdiri dari tiga ranah, yakni ranah domestik, ranah publik dan ranah negara.
0 Komentar