Santri, Mahasiswa dan Tantangan Era Digital

Oleh : Moh. Rizqy Maulidi (Wakil Ketua HMP HTN STIT Al-Ibrohimy)

Masyarakat kita mungkin mengenal seorang santri dengan kemantapan ilmu agamanya, sebagaimana dijelaskan oleh KH. Hasani Nawawie Sidogiri definisi santri adalah “Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah orang yang berpegang teguh dengan al-Qur’an dan mengikuti sunnah Rasul serta  teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya.”

Santri juga berperan penting dalam revoulsi peradaban suatu bangsa, tidak asing lagi kita tau dalam sejarah kemerdekaan indonesia, santri ikut andil berkontribusi perang melawan penjajah dan perbudakan. Seperti KH. Abd. Jalil bin Fadil pengasuh pesantren sidogiri yang wafat tertembak oleh belanda, KH. Hasyim Asyari pendiri organisasi NU dengan seruan resolusi jihadnya dan masih banyak lagi peran santri dalam memperjuangkan kemerdekaan indonesia.

Dulu, pesantren hanya menjadi tempat pendidikan non-formal yang menghasilkan lulusan-lulusan yang hanya ahli di bidang agama Islam saja. Namun seiring perkembangan zaman, pesantren dapat menghasilkan alumni-alumni yang tidak hanya ahli dalam bidang agama, namun juga ilmu-ilmu umum seperti ilmu ekonomi. Banyak alumni pesantren yang jadi pengusaha besar seperti Sujatmiko Lulusan dari pondok Pesantren Nurul Ulum Malang yang saat ini sukses dalam bidang usaha. Setelah lulus ia melanjutkan studinya di Politeknik Universitas Brawijaya jurusan Teknik Sipil.

Ia kemudian bekerja di perusahaan NIPPON Koei, Jakarta hingga akhirnya Sudjatmiko mulai menciptakan dua perusahaan, yaitu jasa konsultan dan jasa konstruksi. Dalam bidang politik, Muhaimin Iskandar yang sekarang menjabat sebagai menteri Kordinator Bidang Permberdayaan Masyarakat kabinet merah-putih, terlahir dari keluarga pesantren Mamba’ul Ma’arif jombang dan melanjutkan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada dan masih banyak lagi tokoh santri lainnya.

Sejatinya, santri merupakan murid yang mengenyam pendidikan agama di suatu kawasan pesantren dengan lingkungan yang tertutup. Hal ini menjadi “hakikat” dari seorang santri yang sedang menempuh pendidikan di pesantren. Namun, zaman ini dengan transformasi sosial yang begitu kuat mengharuskan pesantren atau santri untuk bersikap lebih open minded. Di era globalisasi dan digitalisasi seperti sekarang, santri akan dihadapkan dengan banyak problem, karena santri terbiasa dengan budaya pesantrennya yang tertutup dan tidak tau situasi keadaan di luar.

ilustrasi : https://designer.microsoft.com/editor

Tidak heran terkadang pola pikir mereka sangat kaku untuk menyampaikan ilmu agama dan terkesan monoton untuk dikonsumsi oleh khalayak umum. Ketika santri berdiskusi dengan mahasiswa misalnya, biasanya mereka akan merasa kebingungan meskipun dia sudah mempunyai pedoman ilmu agama, karena mereka mungkin tidak diajarkan ilmu-ilmu yang dipelajari mahasiswa di kampus. Secara tidak langsung, santri juga dituntut untuk tetap eksis mengikuti perkembangan zaman namun tidak tergerus oleh zaman.

Seperti maqolah Imam al-Ghozali al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yakni “Memelihara tradisi yang baik dan mengambil pembaruan yang lebih baik.” Salah satu caranya adalah dengan memperluas wawasan intelektualnya ke jenjang yang lebih tinggi. Yakni, menempuh pendidikan di perguruan tinggi baik di universitas, ataupun sekolah tinggi. Dengan bekal ilmu yang diperoleh di pesantren, santri diharapkan bisa menjadi mahasiswa yang dapat menyeimbangkan ilmuan agama dan ilmu umumnya. Dengan menjadi mahasiswa, santri mampu menetralisir stigma masyarakat awam yang mengklaim bahwa santri hanyalah manusia kolot, kudate, dan lugu.

Dalam dunia kampus, sering kali kita temui teman-teman mahasiswa yang hanya menguasai ilmu umum saja tanpa adanya landasan ilmu agama. Dari situlah peran penting santri sangat diperlukan dalam dunia kampus untuk menopang minimnya pengetahuan agama yang dimiliki mahasiswa yang tidak pernah nyantri. Begitupun sebaliknya, dengan menjadi mahasiswa seorang dantri akan belajar cara berdiskusi, komunikasi, dan meneliti sebuah masalah dengan metode ilmiah dari dosen dan mahasiswa lainnya.

Harmoni keduanya akan menciptakan simbiosis mutualism, saling melengkapi satu sama lain, saling bersinergi antara mahasiswa santri dan non-santri. Dengan adanya kolaborasi santri dan mahasiswa, pendidikan di dunia kampus akan menjadi balance antara ilmu agama dan ilmu umum, kehidupan sosial kampus akan teratur tanpa adanya perpecahan dan perselisihan. Dengan menjadi mahasiswa, keilmuan santri akan menjadi sempurna, ia akan mampu menjelaskan kepada masyarakat ilmu agama menggunakan ilmu umumnya. Pola pikirnya menjadi lebih terbuka dan tertata, cara komunikasinya lebih beretika dan estetika. Maka dari itu, sebagai santri jangan pernah takut untuk menjadi mahasiswa, sebab dengan menempuh pendidikan di jenjang yang lebih tinggi, santri bisa menjadi apa saja.


Posting Komentar

1 Komentar